Tuesday, March 6, 2012

Soeharto Dimata Warga

Banyaknya tulisan-tulisan yang mengungkap tentang perjalanan karier politik Pak Soeharto tidak serta merta membuat para pencari informasi terpuaskan. Malah bisa dikatakan tulisan-tulis tersebut semakin membingungkan karena antara yang satu dengan yang lain bagai bumi dan langit. Tidak sedikit para profesional yang di percaya obyektifitasnya berbeda pendapat dalam menulis tema tentang Pak Harto.

Dengan menunjukan bukti-bukti yang bisa di terima, penulis (tokoh) yang satu  lebih cendrung memposisikan Pak Harto sebagai pahlawan dalam setiap tulisannya. Sedang tokoh yang lain lebih suka menulis pak Harto sebagai seorang "Tokoh Jahat", tentunya juga dengan menyertai bukti-bukti yang di anggap sebagai kejahatannya.

Jika para ahli dan profesional pun bisa berseberangan pendapat tentang Pak Harto, apalagi para penulis dadakan yang hanya melihat Pak Harto dari sisi luar saja..? Berangkat dari hal inilah, maka saya sebagai pengamat sejarah level dua merasa perlu untuk  ikut ambil bagian dalam mewarnai (membangun opini) tentang hal yang sama tanpa perlu kuatir ada pihak-pihak yang merasa tidak nyaman dan di rugikan.

Entah kebetulan atau tidak, peristiwa penting khususnya yang berhubungan dengan kemenangan politik Pak Harto terjadi pada bulan Maret. Serangan umum 1 maret dan Supersemar hanya dua contoh dari sekian banyak momen lainnya. Jika bulan maret dianggap sebagai bulan keberuntungan Pak Harto, maka bulan Mei adalah bulan naas bagi beliau. Dibulan Mei itulah Sang Bapak Pembangunan harus menyadari bahwa masa kejayaannya sudah berlalu.

Mei 1998,  saat itu saya masih berada di  Surabaya .  ini adalah bulan paling panas bagi Jakarta termasuk Surabaya, dimana demo dan hujatan terhadap pemerintah sudah semakin berani dan tidak terkendali. Untuk pertama kalinya sebagai pengamat sejarah saya menyaksikan secara langsung sebuah  aksi masa yang di sebut demonstrasi. Yang namanya demonstrasi pada era 80-90an adalah sesuatu yang luar biasa (tabu). Saat itu demonstrasi di Indonesia hanya di kenal sebatas istilah saja, dan praktiknya hanya bisa kita jumpai di layar televisi pada acara  "Dunia Dalam Berita"nya TVRI.

Sepinya negeri ini dari aksi demonstrasi pada masa Orde Baru bukan karena tidak adanya bahan untuk di demo melainkan itu adalah salah satu "kehebatan" yang di miliki Pak Harto.  Dengan menggunakan tameng Demokrasi Pancasila, Orde Baru berhasil menendang keluar  istilah demonstrasi dari induknya yang bernama demokrasi.  Begitu juga dengan pengertian demonstrasi, Orde Baru menyebutnya sebagai sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan demokrasi. Tegasnya demonstrasi adalah sesuatu yang vulgar dan haram bagi masyarakat Indonesia yang memiliki adab ketimuran, begitulah kurang lebih.

Pak Harto pada jamannya memang sukses dalam membangun kekuatan politik yang tangguh. Jargon Pembangunan hanya bisa berjalan jika ada jaminan stabilitas politik menjadi alat pembenaran bersatunya elemen-elemen penting negeri ini seperti ABRI, Birokrasi dan Golkar, untuk membentuk kekuatan "Mayoritas Tunggal" dalam menopang kebijaksanaan Orde Baru. Belum cukup dengan itu Orde Baru juga pawai dalam memilih bahasa-bahasa penyampaian politis yang membuat hati terasa sejuk. Mungkin kita masih mengingat beberapa "istilah penghibur" seperti misalnya, Keluarga miskin di ubah menjadi keluarga Pra sejahtera, atau gelandangan di buat lebih terhormat dengan istilah Tuna Wisma. Tetapi sebaliknya, kata demonstrasi di perseram pengertiannya sebagai sebuah tindakan kegaduhan yang memiliki unsur subversif.

Secara politik tindakan Pak Harto yang mengharamkan demonstrasi bisa "dibenarkan" jika melihat pengalaman pendahulunya Soekarno yang juga rontok karena permainan demonstrasi. Menurut Prof. DR. Ir. Papuk Mail, Msc, MBA dalam catatannya mengatakan, bahwa Pak Harto tidak pernah takut pada Demonstran (mahasiswa) melainkan mengkhawatirkan orang-orang yang memanfaatkan demonstrasi itu sendiri. Pak Harto belajar banyak dari peristiwa  Arief Rahman Hakim pada masa Orde Lama.

Dan terbukti peristiwa Trisakti   semakin membenarkan alasan  Pak Harto untuk alergi dengan aksi jalanan ini. Tewasnya mahasiswa Trisakti memiliki kemiripan skenario dan dampak yang sama dengan kasus Pahlawan Ampera yaitu guna memancing kemarahan rakyat. Sebagai politikus ulung beliau sadar bahwa peristiwa tersebut adalah bentuk  usaha  kelompok tertentu (pengkhianatan) yang ingin menciptakan kondisi chaos agar mereka bisa dengan mudah bermain di air yang sudah keruh. Bisa dikatakan peristiwa penembakan mahasiswa Trisakti merupakan pintu kemenangan pertama dan utama pihak oposan dalam usahanya untuk memaksa sang penguasa orde baru mengundurkan diri.

Berbicara soal pengunduran diri, ada banyak cerita menarik seputar pengunduran diri Pak Harto.Salah satunya adalah cerita ""pengkhianatan" orang-orang terdekat yang seharusnya berdiri membelanya. Dua di antara mereka yang paling santer disebut-sebut adalah BJ. Habibie dan Harmoko. Dua tokoh ini di ketahui sebagai iconnya Orde Baru yang di besarkan Pak Harto. Tetapi dalam gonjang ganjing Politik 1998, mereka berdualah yang konon paling terlihat merugikan Pak Harto. Mulai dari pengunduran diri menteri-menteri yang di ketahui memiliki hubungan organisasi dengan Habibie (ICMI dan PII), dan upaya tebar pesona yang di lakukan Harmoko di hadapan publik  guna "memaksa" bos-nya untuk segera mengundurkan diri.

Pengunduran diri para menteri dan statemen (manuver) Harmoko sebagai orang terdekat Pak Harto, tentunya memiliki dampak psikologis hebat bagi penguasa Orde Baru tersebut, yakni meruntuhkan moral sang jendral besar dan sebaliknya membuat para oposan semakin percaya diri. Pak Harto melihat itu semua sebagai upaya memanfaatkan situasi sekaligus upaya penyelamatan diri sendiri. Di sisi lain, ketidak mampuan militer dalam mengatasi kerusuhan serta bebasnya para demonstran yang lenggang kangkung kesana kemari (pendudukan Gedung DPR) semakin meyakinkan Pak Harto, bahwa orang-orang kepercayaannya kini sudah berbalik menjauh. Maka  dengan mencermati tingkah laku orang-orang terdekatnya, Pak Harto dengan mantap meminta Saadilah Mursyid membuat surat pernyataan berhenti sebagai presiden. Sebuah keputusan yang sangat terlambat untuk seorang negarawan ulung, namun  tepat waktu untuk memperjelas mana kaca dan mana permata.  

Hal menarik lainnya bagi saya  adalah adanya "kelucuan" saat momen pengunduran diri pendiri Orde Baru ini. Jika di arena unjuk rasa, para demonstran terlihat begitu antusias dengan kemenangannya, maka di warung-warung, di pasar ataupun di kampung akan terlihat suasana yang berbeda atau bisa dikatakan situasinya terbalik. Saya ingat bagaimana seluruh pengunjung di sebuah warung makan  terpaku beberapa saat begitu Pak Harto secara resmi menyatakan mundur. Sedikitpun tidak terlihat mereka bergembira, haru sudah pasti. Pun setelah beberapa bulan setelah kejatuhannya, satupun tidak saya jumpai pendapat pendapat miring tentang Pak Harto (Dalam perjalanan yang memakan waktu berhari-hari, saya biasa "mewawancarai" teman duduk sebangku di kereta api atau di bis malam misalnya terkait pendapat mereka tentang Pak Harto hehehe)

Tetapi situasinya bisa berubah jika kita membicarakan  Pak Harto pada momen-momen yang melibatkan kumpulan mahasiswa atau yang berbau akademis (saat itu dan mungkin masih berlaku sampai sekarang). Layaknya sebuah mode yang lagi in, membela Pak Harto akan di cibir sebagai orang awam, dan yang menghujat di identikan dengan kaum intelektual. Perbedaan informasi, latar belakang dan era angkatan bisa menjadi faktor perbedaan pandangan ini. Tetapi kenyataan yang sebenarnya adalah   Pak Harto  memang benar menjadi bulan-bulanan hujatan politik, namun di belakang layar kharisma Pak Harto sebagai mantan penguasa besar tidak pernah tergoyahkan.

Bahkan menurut survery terakhir, kharisma Pak Harto jauh meninggalkan Soekarno, SBY dan mantan presiden RI lainnya. Dalam hal ini Pak Harto mengikuti fenomena Soekarno yang di hujat pada saat kejatuhannya, namun semakin bersinar seiring berjalannya waktu. Perubahan sikap masyakarat yang cendrung positive seperti ini tidak lepas dari ketidakmampuan para pengganti beliau dalam menciptakan kondisi bangsa yang lebih baik lagi. Atau jika boleh di katakan, sudah empat presiden pengganti Pak Harto, tapi kondisi bangsa ini semakin runyam dan kehilangan identitas aslinya..TAMAT.

No comments:

Post a Comment

Search