Tidak terasa lama juga saya tidak menulis sesuatu di halaman asbun ini. Tulisan kontroversi terakhir (setelah saya periksa) tertanggal 21 Juni 2013. Itu berarti lima bulan yang lalu. Waktu yang teramat panjang bagi penggemar untuk menantikan artikel baru yang lebih panas. Sekedar mengingatkan saja, bahwa postingan "bertingkah" yang saya angkat terakhir adalah BLSM ; Manuver Usang Sang Demokrat.,
Ada beberapa hal yang membuat saya mesti vakum sementara waktu untuk men"corat-coret" halaman ini. Disamping hati yang sedang tidak mood, saya fokus menyelesaikan proyek (request) dari penggemar lain yang ingin belajar tentang blog. Konon menurutnya, tutorial seputar blog banyak berserakan di internet, tapi mereka lebih mudah paham jika tutorial yang sama didapatkan dari blog masa depan ini. Tidak ingin melihatnya kecewa, saya menyelesaikan secepat mungkin permintaan tersebut. Dan hasilnya 18 tutorial seputar blog selesai tepat waktu (baca juga: Blog Untuk Pemula ). Ini penyebab lain mengapa saya menghilang dari dunia "corat-coret". Semoga dimaklumi.
Sekedar informasi sebelumnya, blog yang kalian cintai ini menggunakan tiga motto berbeda dalam setiap kategori. Untuk "Internet dan Komputer" saya biasa menggunakan motto para petani (maunya sih), Siapa Menanam Dia Memanen. Untuk "Corat-Coret", saya lebih menyukai motto yang sedikit menantang agar terlihat keren (mottonya pawang hujan), Menebar Angin Menuai Badai. Dan di luar itu saya biasa menerapkan motto "standar ganda" blog ini : Sambil Menyelam Minum Air. Tetapi apapun mottonya, tujuannya tetap satu, yakni berguna bagi nusa dan bangsa.
Tapi ngomong-ngomong, melihat dari judulnya yang ironi (bukan ironis lho), inspirasi tulisan ini tidak berasal dari pengalaman pribadi (tentu saja bukan, sebab ini menyangkut tokoh-tokoh ternama), melainkan terinspirasi dari ucapan seseorang saat adu argumen asbun mengenai politik telur bebek. Argumen yang awalnya sebatas share, tetapi karena suatu dan lain hal berubah menjadi debat panas dan saling menggurui. Sambil menyeruput kopi hitamnya, dengan setengah menunjuk dia berucap "..., Dan jadilah engkau seseorang yang tidak pernah di perhitungkan." Meski datar dan tersenyum, saya yakin dia serius saat mengatakan kalimat asing tersebut.
Ya, saya mesti percaya, sebab yang mengucapkan bukanlah orang biasa, tetapi seseorang yang saya akui memiliki komitmen dan konsisten (tidak seperti saya yang suka membeo). Meminjam istilah seseorang, kalimat itu langsung membuat saya shutdown. Feeling saya mengatakan, itu adalah penangkal atas argumen provokatif yang saya lontarkan sebelumnya. Sepertinya dia sadar bahwa debat saya TIDAK LEBIH hanya untuk menunjukan diri sebagai seorang yang hebat. Saya langsung sadar bahwa yang saya hadapi bukan orang sembarangan. Ternyata dia mewarisi ilmu langka yang sudah punah beberapa abad yang lalu, yakni ilmu padi tingkat sembilan :
"..., Dan jadilah engkau seseorang yang tidak pernah di perhitungkan!"
Mungkin karena hawa panas Pemilu yang semakin dekat, di sana sini, disegala tempat yang saya singgahi (maklum anak gaul) selalu saja topik pembicaraan tidak jauh-jauh dari tema politik. Saya merasa hari-hari ini semua orang seperti pandai berpolitik (termasuk saya) . Ya politik memang luas, dan semua orang berhak berbicara apapun tentang politik. Sebab politik bukanlah monopoli seorang politisi, pekerja politik, terlebih lagi sang petualang politik. Dan berbicara tentang politik pastinya akan bermuara pada soal pemerintahan dan kekuasaan. Sebagai pengamat ulung, tentunya saya tergoda untuk menganalisa sejauh mana relevansi kalimat sakti tersebut pada diri tokoh-tokoh hebat di bawah ini. Dan tentu saja, untuk tokoh setenar mereka, rasanya terlalu berlebihan jika harus menggunakan Pararaton, Nagarakertagama, ataupun buku putih lainya sebagai referensi. Bagi saya, cukuplah dengan mengingat pelajaran PSPB kadaluarsa plus koran-koran bekas pembungkus nasi balap. Namun begitu, validitas dan obyektifitas dari analisa ini sangat layak untuk diperhitungkan.
Ada beberapa hal yang membuat saya mesti vakum sementara waktu untuk men"corat-coret" halaman ini. Disamping hati yang sedang tidak mood, saya fokus menyelesaikan proyek (request) dari penggemar lain yang ingin belajar tentang blog. Konon menurutnya, tutorial seputar blog banyak berserakan di internet, tapi mereka lebih mudah paham jika tutorial yang sama didapatkan dari blog masa depan ini. Tidak ingin melihatnya kecewa, saya menyelesaikan secepat mungkin permintaan tersebut. Dan hasilnya 18 tutorial seputar blog selesai tepat waktu (baca juga: Blog Untuk Pemula ). Ini penyebab lain mengapa saya menghilang dari dunia "corat-coret". Semoga dimaklumi.
Sekedar informasi sebelumnya, blog yang kalian cintai ini menggunakan tiga motto berbeda dalam setiap kategori. Untuk "Internet dan Komputer" saya biasa menggunakan motto para petani (maunya sih), Siapa Menanam Dia Memanen. Untuk "Corat-Coret", saya lebih menyukai motto yang sedikit menantang agar terlihat keren (mottonya pawang hujan), Menebar Angin Menuai Badai. Dan di luar itu saya biasa menerapkan motto "standar ganda" blog ini : Sambil Menyelam Minum Air. Tetapi apapun mottonya, tujuannya tetap satu, yakni berguna bagi nusa dan bangsa.
Tapi ngomong-ngomong, melihat dari judulnya yang ironi (bukan ironis lho), inspirasi tulisan ini tidak berasal dari pengalaman pribadi (tentu saja bukan, sebab ini menyangkut tokoh-tokoh ternama), melainkan terinspirasi dari ucapan seseorang saat adu argumen asbun mengenai politik telur bebek. Argumen yang awalnya sebatas share, tetapi karena suatu dan lain hal berubah menjadi debat panas dan saling menggurui. Sambil menyeruput kopi hitamnya, dengan setengah menunjuk dia berucap "..., Dan jadilah engkau seseorang yang tidak pernah di perhitungkan." Meski datar dan tersenyum, saya yakin dia serius saat mengatakan kalimat asing tersebut.
Ya, saya mesti percaya, sebab yang mengucapkan bukanlah orang biasa, tetapi seseorang yang saya akui memiliki komitmen dan konsisten (tidak seperti saya yang suka membeo). Meminjam istilah seseorang, kalimat itu langsung membuat saya shutdown. Feeling saya mengatakan, itu adalah penangkal atas argumen provokatif yang saya lontarkan sebelumnya. Sepertinya dia sadar bahwa debat saya TIDAK LEBIH hanya untuk menunjukan diri sebagai seorang yang hebat. Saya langsung sadar bahwa yang saya hadapi bukan orang sembarangan. Ternyata dia mewarisi ilmu langka yang sudah punah beberapa abad yang lalu, yakni ilmu padi tingkat sembilan :
"..., Dan jadilah engkau seseorang yang tidak pernah di perhitungkan!"
*****
Mungkin karena hawa panas Pemilu yang semakin dekat, di sana sini, disegala tempat yang saya singgahi (maklum anak gaul) selalu saja topik pembicaraan tidak jauh-jauh dari tema politik. Saya merasa hari-hari ini semua orang seperti pandai berpolitik (termasuk saya) . Ya politik memang luas, dan semua orang berhak berbicara apapun tentang politik. Sebab politik bukanlah monopoli seorang politisi, pekerja politik, terlebih lagi sang petualang politik. Dan berbicara tentang politik pastinya akan bermuara pada soal pemerintahan dan kekuasaan. Sebagai pengamat ulung, tentunya saya tergoda untuk menganalisa sejauh mana relevansi kalimat sakti tersebut pada diri tokoh-tokoh hebat di bawah ini. Dan tentu saja, untuk tokoh setenar mereka, rasanya terlalu berlebihan jika harus menggunakan Pararaton, Nagarakertagama, ataupun buku putih lainya sebagai referensi. Bagi saya, cukuplah dengan mengingat pelajaran PSPB kadaluarsa plus koran-koran bekas pembungkus nasi balap. Namun begitu, validitas dan obyektifitas dari analisa ini sangat layak untuk diperhitungkan.
(Ranggalawe, Lembu Sora dan Nambi) - (Rakuti dan Gajah Mada)
Kita mulai dari Rakuti (Kuti)...,
Di samping Raden Wijaya, berdirinya Majapahit tidak lepas dari peran ketiga orang pembantu setianya seperti Ranggalawe, Lembu Sora dan Nambi. Selain itu, ada nama beken lainnya tapi tidak sekeren tiga orang tersebut, seperti Kebo Anabrang dan Gajah Biru (Maaf, Ramapati dan nama aneh seperti Rawedeng, Rayuyu, Rapangsa dan Rabanyak tidak masuk hitungan). Segala peran dan kemampuan menjadikan mereka sebagai tokoh-tokoh utama Majapahit yang sangat di perhitungkan. Terbukti Nambi dikemudian hari menjadi Patih, Lembu Sora pun menjadi Patih (Daha) dan Ranggalawe dipercaya sebagai Pasungguhan.
Di tempat dan waktu yang bersamaan, ada seorang Kuti yang "kualitas hidupnya" bertolak belakang dengan ketiga tokoh tersebut. Kehidupannya tidak di kenal, dan baru muncul ke permukaan saat membuat gempar Majapahit (bisa jadi saat itu Kuti adalah pengangguran atau mungkin juga seorang gelandangan). Ketika Ranggalawe, Lembu Sora dan Nambi secara bergiliran melakukan kudeta, Majapahit masih mampu untuk memadamkannya. Tetapi saat "sang Gelandangan" Rakuti mencoba melakukan hal yang sama, hasilnya agak berbeda. Tidak seperti "pembangkang" lainnya yang hanya sanggup membuat kekacauan terbatas, Rakuti mampu merangsek maju sehingga raja dan para pengikutnya terpaksa menyingkir keluar istana.
Seorang Kuti yang tidak di perhitungkan sukses melancarkan strategi perang yang tidak mampu dilakukan oleh senopati perang Majapahit. Namun belum sempat Rakuti menikmati hasil perjuangannya, di waktu yang berbarengan muncul seseorang yang tidak kalah gelap asal usulnya (baca; tidak di perhitungkan) yang menjadi lawan tandingnya. Siapa lagi kalau bukan Gajah Mada. Rakuti dan Gajah Mada adalah contoh dua orang yang semula tidak pernah di perhitungkan, tapi kemampuan mereka berdua sangat menentukan masa depan Majapahit.
Setelah memimpin pelarian Prabu Jayanegara, Gajah Mada secara kilat menyusun kembali sisa kekuatan Majapahit yang tercerai berai. Meski hanya seorang komandan pengawal Raja (Bhayangkari), Gajah Mada mampu melakukan serangan balik yang akhirnya menewaskan Kuti. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Gajah Mada kemudian di angkat menjadi Patih. Dan kelak, tokoh ini akan menoreh sejarah keemasan Majapahit bersama pasangan mudanya (Hayam Wuruk) dengan kekuasaan melebihi luas wilayah Nusantara.
Catatan : Dalam versi yang resmi, kerajaan Majapahit bersanding dengan kerajaan besar lainnya seperti, Sriwijaya, dan Singasari. Ketiganya di catat sebagai kerajaan-kerajaan tangguh dan seperti "tidak memperhitungkan" kerajaan yang bernama Pajajaran. Tapi sejarah membuktikan bahwa Pajajaran-lah satu-satunya kerajaan (kecil) yang tidak mau mengakui kekuasaan Majapahit pada saat puncak kejayaannya. Majapahit saat itu bukan saja memiliki kekuatan di darat, di lautpun Majapahit memiliki kekuasaan yang sangat besar. Bagaimana Laksamana Nala menjadikan Angkatan Laut Majapahit begitu menakutkan tidak terkecuali kerajaan Cina saat itu (Cina sejak jaman kekaisaran sampai sekarang memiliki kepercayaan, bahwa siapa yang menguasai lautan maka akan menguasai dunia). Tetapi menghadapi Pajajaran, ternyata Majapahit dalam hal ini Gajah Mada, harus berjuang keras untuk menghindari perang terbuka dengan kerajaan "yang tidak di perhitungkan" itu (selengkapnya baca perang bubat).
Di samping Raden Wijaya, berdirinya Majapahit tidak lepas dari peran ketiga orang pembantu setianya seperti Ranggalawe, Lembu Sora dan Nambi. Selain itu, ada nama beken lainnya tapi tidak sekeren tiga orang tersebut, seperti Kebo Anabrang dan Gajah Biru (Maaf, Ramapati dan nama aneh seperti Rawedeng, Rayuyu, Rapangsa dan Rabanyak tidak masuk hitungan). Segala peran dan kemampuan menjadikan mereka sebagai tokoh-tokoh utama Majapahit yang sangat di perhitungkan. Terbukti Nambi dikemudian hari menjadi Patih, Lembu Sora pun menjadi Patih (Daha) dan Ranggalawe dipercaya sebagai Pasungguhan.
Di tempat dan waktu yang bersamaan, ada seorang Kuti yang "kualitas hidupnya" bertolak belakang dengan ketiga tokoh tersebut. Kehidupannya tidak di kenal, dan baru muncul ke permukaan saat membuat gempar Majapahit (bisa jadi saat itu Kuti adalah pengangguran atau mungkin juga seorang gelandangan). Ketika Ranggalawe, Lembu Sora dan Nambi secara bergiliran melakukan kudeta, Majapahit masih mampu untuk memadamkannya. Tetapi saat "sang Gelandangan" Rakuti mencoba melakukan hal yang sama, hasilnya agak berbeda. Tidak seperti "pembangkang" lainnya yang hanya sanggup membuat kekacauan terbatas, Rakuti mampu merangsek maju sehingga raja dan para pengikutnya terpaksa menyingkir keluar istana.
Seorang Kuti yang tidak di perhitungkan sukses melancarkan strategi perang yang tidak mampu dilakukan oleh senopati perang Majapahit. Namun belum sempat Rakuti menikmati hasil perjuangannya, di waktu yang berbarengan muncul seseorang yang tidak kalah gelap asal usulnya (baca; tidak di perhitungkan) yang menjadi lawan tandingnya. Siapa lagi kalau bukan Gajah Mada. Rakuti dan Gajah Mada adalah contoh dua orang yang semula tidak pernah di perhitungkan, tapi kemampuan mereka berdua sangat menentukan masa depan Majapahit.
Setelah memimpin pelarian Prabu Jayanegara, Gajah Mada secara kilat menyusun kembali sisa kekuatan Majapahit yang tercerai berai. Meski hanya seorang komandan pengawal Raja (Bhayangkari), Gajah Mada mampu melakukan serangan balik yang akhirnya menewaskan Kuti. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Gajah Mada kemudian di angkat menjadi Patih. Dan kelak, tokoh ini akan menoreh sejarah keemasan Majapahit bersama pasangan mudanya (Hayam Wuruk) dengan kekuasaan melebihi luas wilayah Nusantara.
Catatan : Dalam versi yang resmi, kerajaan Majapahit bersanding dengan kerajaan besar lainnya seperti, Sriwijaya, dan Singasari. Ketiganya di catat sebagai kerajaan-kerajaan tangguh dan seperti "tidak memperhitungkan" kerajaan yang bernama Pajajaran. Tapi sejarah membuktikan bahwa Pajajaran-lah satu-satunya kerajaan (kecil) yang tidak mau mengakui kekuasaan Majapahit pada saat puncak kejayaannya. Majapahit saat itu bukan saja memiliki kekuatan di darat, di lautpun Majapahit memiliki kekuasaan yang sangat besar. Bagaimana Laksamana Nala menjadikan Angkatan Laut Majapahit begitu menakutkan tidak terkecuali kerajaan Cina saat itu (Cina sejak jaman kekaisaran sampai sekarang memiliki kepercayaan, bahwa siapa yang menguasai lautan maka akan menguasai dunia). Tetapi menghadapi Pajajaran, ternyata Majapahit dalam hal ini Gajah Mada, harus berjuang keras untuk menghindari perang terbuka dengan kerajaan "yang tidak di perhitungkan" itu (selengkapnya baca perang bubat).
AH. Nasution, Ahmad Yani dan Soeharto
Jendral AH. Nasution dan Letjen Ahmad Yani adalah dua nama setelah Soekarno yang paling di takuti pada dekade 50-60. Kedua jendral ini memiliki pengaruh yang kuat dikalangan militer dan dimata Soekarno sekalipun. Kemampuan mereka di bidangnya bisa dikatakan tidak ada tandingannya. Ini terlihat pada kesuksesan operasi militer yang mereka rancang dalam membrangus setiap pemberontakan dalam negeri. Dimata anak buah, keduanya dikenal sebagai komandan yang disegani karena ketegasan dan keberaniannya. Tidak itu saja, merekapun sama-sama sudah digadang sebagai pengganti Soekarno. Tapi yang berbeda adalah, Nasution lebih banyak memposisikan diri sebagai seorang oposan, sebaliknya Ahmad Yani cendrung mendukung segala kebijakan Soekarno. Tapi yang pasti, jika sudah berhubungan dengan kebijakan yang menguntungkan PKI, mereka kompak bersatu menentang kebijakan tersebut. Lalu di mana Soeharto saat itu...?
Antara tahun 1949-1952, Soeharto memiliki peran dan kontribusi yang sama hebatnya dengan kedua atasannya itu. Serangan Umum 1 Maret dan Operasi Merdeka Timur guna menumpas DI/TII Kudus dan Magelang yang didukung Batalyon 426 yang membelot, adalah bukti yang tidak terbantahkan. Tetapi setelah itu, karier militernya seperti jalan di tempat, atau bisa di katakan ambruk terlebih lagi pasca menjabat Pangdam Diponegoro pada tahun1959. Konon dengan jabatan Pangdam-nya Soeharto dikabarkan lebih banyak mengkoleksi citra buruk daripada mengukir prestasi seperti halnya kedua rekannya itu.
Nama Soeharto semakin tenggelam di bawah bayang-bayang Nasution dan Ahmad Yani. Bahkan, ketika Angkatan Darat terjebak dalam dualisme kepemimpinan (kubu Nasution vs kubu Yani), Soeharto seperti pelanduk diantara dua gajah yang bertarung. Posisinya semakin tidak jelas karena kedua kubu yang "bertikai" seperti tidak mengharapkan dukungan Panglima Kostrad tersebut. (Pangkostrad pada masa itu memang tidak memiliki kekuatan dan pengaruh sebab tidak membawahi pasukan sebagaimana dijaman Orde Baru Dengan kata lain, Pangkostrad tidak lebih hanyalah jabatan buangan untuk para perwira yang tidak terpakai).
Nama Soeharto semakin tenggelam di bawah bayang-bayang Nasution dan Ahmad Yani. Bahkan, ketika Angkatan Darat terjebak dalam dualisme kepemimpinan (kubu Nasution vs kubu Yani), Soeharto seperti pelanduk diantara dua gajah yang bertarung. Posisinya semakin tidak jelas karena kedua kubu yang "bertikai" seperti tidak mengharapkan dukungan Panglima Kostrad tersebut. (Pangkostrad pada masa itu memang tidak memiliki kekuatan dan pengaruh sebab tidak membawahi pasukan sebagaimana dijaman Orde Baru Dengan kata lain, Pangkostrad tidak lebih hanyalah jabatan buangan untuk para perwira yang tidak terpakai).
Di pihak berseberangan, PKI dengan Biro Khususnya sama sekali tidak pernah memperhitungkan Soeharto sebagai target binaan yang masuk dalam kriteria "Perwira Yang Berpikiran Maju", yang kemampuannya bisa di andalkan guna memperkuat PKI. Sebaliknya, PKI pun mungkin tidak pernah berpikir, dibandingkan Nasution dan Yani, Soeharto kelak akan menjadi lawan yang lebih menakutkan lagi. Dan akhirnya, ketika peristiwa G30S/PKI meletus, sosok yang dilupakan oleh kawan dan tidak diperhitungkan oleh lawan ini, secara menakjubkan mampu membuat keputusan politik dan militer diluar dugaan mereka yang meremehkannya. Soekarno berhasil di kunci dan Nasution di hipnotis tidak berdaya. Mengutip pernyataan dari tokoh yang bersebrangan dengan Soeharto; (Di balik segala hal yang membuatnya di remehkan), segala kemampuan dari seorang Soekarno, Nasution dan Yani ternyata ada pada diri Soeharto.
Amien Rais, Megawati dan Gusdur
Semua pasti setuju jika saya katakan mereka ini memiliki tingkat popularitas yang sama pada masa Orde Baru. Ketiganya masuk dalam daftar orang-orang yang mesti diawasi. Megawati dan Gusdur pernah merasakan pahitnya intervensi pemerintah pada organisasi yang dipimpinnya. PDI dan NU sempat memiliki dua pimpinan yang berimbas pada dibentuknya organisasi tandingan. Tujuannya tentu saja untuk melemahkan posisi kedua tokoh tersebut (Gusdur dan Megawati). Sedangkan Amien Rais, meski organisasinya aman aman saja, tapi sangat dipersempit ruang geraknya. Dalam hal ini NU lebih "beruntung" daripada Muhammadiyah. Vokalnya tokoh-tokoh Muhammadiyah yang menyoroti kebijakan Seoharto menjadi salah satu penyebab organisasi Ahmad Dahlan ini diperlakukan sebagai "anak tiri"nya Orde Baru..
Ketika mendekati masa reformasi, di saat semua tokoh tidak berani berbicara tentang kebijakan Orde Baru, Amien Rais malah lantang memunculkan wacana Suksesi Kepemimpinan Nasional. Tantangan Amien Rais ini tentu saja mengejutkan karena dilakukan ketika Golkar (Soeharto) pada puncak dukungan rakyat. Hasil pemilu 1997 menunjukan dukungan rakyat untuk Golkar melampui prosentase pada pemilu sebelumnya. Artinya Soeharto memang masih diharapkan kepemimpinannya dengan dukungan yang malah bertambah. Dengan begitu perlu sebuah keberanian dan keyakinan dari pimpinan Muhammadiyah ini untuk "menegur" sang penguasa. Yang harus diketahui, bahwa Amien Rais lah yang membuat para oposan negeri ini seperti "siuman" dari tidur panjangnya. Dan begitu Orde Baru jatuh, nama Amien Rais di sebut-sebut sebagai Bapak Penggerak Reformasi yang disiapkan guna mengganti Soeharto..
Sama seperti Amien Rais, Megawati pun memiliki nama besar meski tidak menunjukan peran yang berarti pada awal pra reformasi. Namun ketakutan Orba yang terlalu berlebihan akhirnya membuat pamor Megawati semakin mencuat. Nama besar Soekarno adalah alasan utama Orde Baru untuk mencekal setiap langkah politik Megawati. Dan puncak dari ketakutan itu adalah saat peristiwa penyerbuan 27 Juli 1996. Namun dua tahun setelah peristiwa tersebut, Megawati mendapatkan keuntungan politik yang luar biasa dari momentum tersebut (tindakan kesewenang-wenangan Orba).
Dimasa pemerintahan transisi, Megawati dengan PDI-Pnya semakin di atas angin dengan banyaknya tokoh yang secara demonstratif memberikan dukungan. Setiap waktu secara bergiliran mereka berlomba-lomba melakukan jumpa pers hanya untuk mempublikasikan diri sebagai pendukung Megawati. Semakin mendekati pemilu, Megawati tak ubahnya seperti gula yang dikerubuti semut-semut lapar. Dan puncaknya pun tiba, Pemilu pertama era reformasi, Jakarta dan seluruh Nusantara dibuat merah membara oleh massa PDI-Perjuangan. Seperti Banteng yang terluka, mereka mengamuk tanpa ada yang bisa menghalangi lagi. Dan disudut dinding sebuah ruangan, seorang Soekarno pun tersenyum tatkala Megawati dengan percaya diri berbisik:" Lihatlah ayah, waktunya sudah tiba." Ya, Megawati dengan segala faktor kemenangannya sudah bisa dipastikan akan menjadi presiden wanita pertama era reformasi.
Jika Amien Rais disebut sebagai Bapak Penggerak Reformasi, Megawati dengan kekuatan Bantengnya, maka Gusdur menurut saya, gerakannya tidak seheboh mereka berdua. Gusdur pun tidak bergeming ketika para petualang politik berlomba-lomba menjadi bajing loncat saat mengumumkan telah bergabung dengan PDI-P misalnya. Ataupun ketika mahasiswa dan kalangan terpelajar lainnya mendengung-dengungkan Amien Rais sebagai tokoh yang paling pantas menduduki kursi kepresidenan saat itu. Tantangan itu disambut oleh Gusdur dengan menyiapkan kendaraan tempur PKB yang disokong massa NU. Dan disaat detik terakhir persaingan, sekali lagi fakta menunjukan bahwa Gusdur mampu menjungkirbalikan teori kausalitas (hasil pemilu) sebagai orang yang sebelumnya tidak pernah diperhitungkan.
Wiranto, Prabowo, dan SBY
Wiranto, Prabowo, dan SBY
Selain nama diatas, sebenarnya ada satu nama lagi, beliau adalah Jendral Hartono yang satu atau dua tingkat diatas Wiranto. Jendral Hartono di kenal dekat dengan Cendana (mbak Tutut). Kepopuleran jendral Cendana ini berbarengan dengan nama besar Wiranto saat itu. Para pengamat pun sempat menempatkan nama Hartono dan Wiranto dalam kriteria pemimpin menurut ramalan Jayabaya : "Presiden atau pemimpin yang akan memimpin Indonesia,
hanya sosok yang memiliki huruf belakang vocal ‘O’". Tetapi khusus untuk kedua jendral ini, saya ingat benar ramalannya bukan didasarkan pada hurup O saja, melainkan pada kata "notonegoro"nya Jayabaya. Kata "noto" di sini dikaitkan dengan suku kata terakhir nama Soekar(no) dan Soehar(to). Begitupun dengan Hartono dan Wiranto. (Habibie, Gusdur, dan Megawati tidak masuk hitungan karena jabatannya kurang dari lima tahun).
Jauh sebelum menjabat sebagai Menhankam/Pangab, para pengamat sebenarnya telah memperkirakan Wiranto dengan lapisan angkatannya (termasuk didalamnya Prabowo dan SBY) akan mendominasi pucuk pimpinan ABRI dimasa mendatang. Seperti yang umum terjadi pada level sebuah persaingan, Wiranto pun sempat diberi julukan "kepala suku" karena dianggap paling menonjol khususnya untuk lulusan AMN angkatan 68-74 (enam angkatan). Dan itu dibuktiknya ketika karier tertinggi dalam ABRI diraihnya. Yang tidak kalah penting untuk diketahui, pada masa Wiranto lah jabatan Mentri Hankam dan Pangab (kembali) di gabung. Rangkap jabatan strategis seperti ini tentunya tidak lepas dari pengaruh dan kemampuan yang dimiliki Wiranto. Maka dengan melihat faktor kemampuan ditambah kedekatannya dengan penguasa Orde Baru, Tidak susah bagi para pengamat politik untuk menerawang masa depan karier Wiranto sebagai tokoh yang memang pantas untuk diperhtungkan..
Jauh sebelum menjabat sebagai Menhankam/Pangab, para pengamat sebenarnya telah memperkirakan Wiranto dengan lapisan angkatannya (termasuk didalamnya Prabowo dan SBY) akan mendominasi pucuk pimpinan ABRI dimasa mendatang. Seperti yang umum terjadi pada level sebuah persaingan, Wiranto pun sempat diberi julukan "kepala suku" karena dianggap paling menonjol khususnya untuk lulusan AMN angkatan 68-74 (enam angkatan). Dan itu dibuktiknya ketika karier tertinggi dalam ABRI diraihnya. Yang tidak kalah penting untuk diketahui, pada masa Wiranto lah jabatan Mentri Hankam dan Pangab (kembali) di gabung. Rangkap jabatan strategis seperti ini tentunya tidak lepas dari pengaruh dan kemampuan yang dimiliki Wiranto. Maka dengan melihat faktor kemampuan ditambah kedekatannya dengan penguasa Orde Baru, Tidak susah bagi para pengamat politik untuk menerawang masa depan karier Wiranto sebagai tokoh yang memang pantas untuk diperhtungkan..
Tidak mau kalah dengan seniornya, Prabowo pun memiliki karier militer yang cemerlang. Beberapa peristiwa penting dinegeri ini tak luput dari peran sertanya. Jika Wiranto disebut Kepala Suku, maka Prabowo pun memiliki julukan yang tidak kalah bobotnya, "The Rising Star". Inilah sebabnya, jika yang lain baru "di kenal" setelah berpangkat jendral ataupun karena jabatan tinggi sekelas Kasad atau Pangkostrad misalnya, Prabowo menurut saya, sudah terkenal jauh sebelum menjadi perwira tinggi. Secara pribadi saya "mengenal" beliau sejak berpangkat Kolonel, tepatnya saat menjabat Wadan Kopassus. Dan semakin terkenal setelah tampuk pimpinan tertinggi Kopassus berada di pundaknya. Untuk itu, syaratnya Prabowo harus naik tingkat menjadi perwira tinggi alias berpangkat Brigadir Jendral.
Bintang Prabowo semakin menyilaukan tatkala dengan alasan kemampuan (pengembangan Kopassus yang di lakukannya), level pimpinan Kopassus yang semula adalah "Komandan" oleh militer dibuat lebih menakutkan lagi menjadi "Komandan Jendral ". Lagi lagi ini berdampak pada kenaikan pangkat Prabowo menjadi seorang Mayor Jendral. The Rising Star ternyata memang bukan omong kosong, sebab dua tahun kemudian, Prabowo kembali membuat iri para jendral lainnya. Kali ini Jabatan sebagai Pangkostrad telah menanti dan tentu saja Prabowo, sekali lagi harus "rela" menambah beban bintang dipundaknya yang semula dua menjadi tiga, Letnan Jendral.
Prabowo memang berbeda dengan yang lainnya. Jika biasanya pangkat yang mempengaruhi sebuah jabatan , pada "The Rising Star" hal ini seperti terbalik. Jabatan yang menanti mengharuskan pangkat seorang Prabowo mesti disesuaikan (di naikan). Artinya kalau boleh dikatakan, terlepas dari segala kemampuannya yang memang hebat, kenaikan pangkat Prabowo yang lebih cepat dari biasanya terkesan seperti ter-program secara sistematis dengan alur skenario tinggi. Tapi untuk urusan record pangkat tercepat , ternyata Prabowo tidak sendiri, sebab ada beberapa tokoh yang sebelumnya juga memiliki keistimewaan serupa meski tidak sama persis, seperti Rudini, LB Moerdhani ataupun Edy Sudrajat. Tapi itulah Prabowo, gaungnya lebih keras dibanding dengan yang lainnya. Begitulah akhirnya, Prabowo dan Wiranto tak ubahnya seperti dua orang yang saling kejar mengejar. Dan sama seperti pertanyaan untuk Soeharto, dimana SBY saat itu..?
Jika boleh jujur, saya yakin masyarakat baru mendengar nama SBY ketika menjadi Kasospol ABRI, atau mungkin malah ketika menjabat sebagai mentrinya Megawati. Bukannya meremehkan bapak presiden kita, malah saya lebih yakin, jika SBY sebenarnya tidak pernah dikenal kecuali saat beliau mulai membuat masalah dengan pemerintahan Megawati (baca; mencalonkan diri sebagai Presiden). Jika dibandingkan dengan Wiranto dan Prabowo untuk level pengaruh dan popularitas , SBY jelas bukan tandingan dua orang ini. Tegasnya, SBY adalah orang yang tidak diperhitungkan jika disana masih ada nama Wiranto dan Prabowo. Tetapi semua menjadi terbalik ketika Prabowo tersungkur dan Wiranto pensiun.
Secara umum, SBY sebenarnya memiliki kemampuan yang sama dengan Wiranto dan Prabowo. Ketiganya sama sama menjadi bintang pada era angkatannya masing masing. Namun jika dilihat dari track record jabatan militer, SBY terlihat berada dibawah mereka. Jabatan SBY (menurut saya) lebih banyak pada urusan "administrasi" dan sebaliknya, dua rivalnya disaat yang sama memegang jabatan "tempur". Atau bisa juga dikatakan, SBY memiliki kesamaan seperti Soeharto yang kala itu popularitasnya dibawah bayang bayang Nasution dan Yani.
Pun ketika ABRI dijadikan sebagai arena adu pengaruh antara Wiranto dan Prabowo, SBY tidak lebih hanya sebagai penonton saja. Hal ini bisa terlihat jika memperhatikan frekuensi manuver (ambisi) yang mereka tunjukan kala menjadi prajurit, terutama Prabowo. Manuver yang akhirnya menjadikan Wiranto dan Prabowo seperti saling berhadapan. Sementara SBY yang memang kalah pamor adem ayem pura pura tidak mau tahu (netral). Tapi yang jelas, sekali lagi saya katakan, SBY (saat itu) bukanlah siapa-siapa jika harus bertarung dengan Wiranto Sang Kepala Suku ataupun Prabowo Si Bintang Kejora.
Secara umum, SBY sebenarnya memiliki kemampuan yang sama dengan Wiranto dan Prabowo. Ketiganya sama sama menjadi bintang pada era angkatannya masing masing. Namun jika dilihat dari track record jabatan militer, SBY terlihat berada dibawah mereka. Jabatan SBY (menurut saya) lebih banyak pada urusan "administrasi" dan sebaliknya, dua rivalnya disaat yang sama memegang jabatan "tempur". Atau bisa juga dikatakan, SBY memiliki kesamaan seperti Soeharto yang kala itu popularitasnya dibawah bayang bayang Nasution dan Yani.
Pun ketika ABRI dijadikan sebagai arena adu pengaruh antara Wiranto dan Prabowo, SBY tidak lebih hanya sebagai penonton saja. Hal ini bisa terlihat jika memperhatikan frekuensi manuver (ambisi) yang mereka tunjukan kala menjadi prajurit, terutama Prabowo. Manuver yang akhirnya menjadikan Wiranto dan Prabowo seperti saling berhadapan. Sementara SBY yang memang kalah pamor adem ayem pura pura tidak mau tahu (netral). Tapi yang jelas, sekali lagi saya katakan, SBY (saat itu) bukanlah siapa-siapa jika harus bertarung dengan Wiranto Sang Kepala Suku ataupun Prabowo Si Bintang Kejora.
Ketika Reformasi pecah, dua kekuatan utama ABRI seperti saling berhadapan dengan segala macam intriknya. Wiranto disatu pihak dan Prabowo dilain pihak. Benturan pun tidak bisa di hindari lagi, dan hasilnya, Prabowo secara ksatria mengakui kekalahannya. Ditempat lain, SBY belum merasa perlu melakukan manuver-manuver berbahaya karena posisinya pada level yang aman (baca: Tidak diperhitungkan). Namun Pelan tapi pasti, SBY akhirnya memiliki kesempatan untuk menunjukan kemampuan terpendamnya, dan hasilnya sungguh mencengangkan. Demokrat berhasil menjadi partai terbesar hanya dalam hitungan hari dan mengantarkannya menjadi orang nomor satu selama dua periode berturut-turut. Sebuah prestasi yang sepertinya akan sulit untuk disamai oleh tokoh lainnya. Dalam konteks situasi reformasi, SBY berhasil merontokan ramalan para pengamat politik yang mengatakan, selain Soeharto tidak ada lagi Presiden RI yang akan mampu bertahan selama dua periode berturut-turut..dst
Dan kembali pada ilham artikel ini, bisa saja apa yang saya uraikan diatas hanya klaim sepihak yang kebenarannya masih perlu dibuktikan lagi. Karena apa yang saya tulis hanya berdasar dari sudut pandang sejarah secara garis besarnya saja. Saya pun yakin bahwa kesuksesan tokoh-tokoh yang saya sebutkan hanyalah efek samping saja. Sebab prinsif "..,jadilah orang yang tidak di perhitungkan..", mempunyai makna dan tujuan yang lebih besar dari itu semua. Yakni untuk mampu memahami, bersikap rendah hati, dan tidak memaksakan kehendak (memaksa orang lain untuk "melihat"nya). Dan pengertian yang sama, bisa di artikan sebagai bahasa lain untuk memperjelas ungkapan Ilmu Padi , semakin merunduk semakin berisi.
Artikel lainnya :
Soeharto Dimata Warga, G30S/PKI ; Pandangan Instan Dari Luar Garis, Film Omar ( Keteladanan Umar Bin Khattab), Soekarno-Hatta ; Pahlawan Yang Terabaikan, Belajar Jujur Dan Amanah; Review Dan Pepesan Kosong, Jokowi Si Umar Kecil, Geger Masalah UN Yang Di Undur; Bebas Berpendapat, Nasdem Dalam Pemilu 2014; Pewarna Blog, Ganti Rasa Dan Kemasan, Gudang Garam Bunuh Diri, BLSM ; Manuver Usang Sang Demokrat, Kenaikan BBM, BLSM, dan Pemilu, 10 Alasan Saya Harus Menulis
Dan kembali pada ilham artikel ini, bisa saja apa yang saya uraikan diatas hanya klaim sepihak yang kebenarannya masih perlu dibuktikan lagi. Karena apa yang saya tulis hanya berdasar dari sudut pandang sejarah secara garis besarnya saja. Saya pun yakin bahwa kesuksesan tokoh-tokoh yang saya sebutkan hanyalah efek samping saja. Sebab prinsif "..,jadilah orang yang tidak di perhitungkan..", mempunyai makna dan tujuan yang lebih besar dari itu semua. Yakni untuk mampu memahami, bersikap rendah hati, dan tidak memaksakan kehendak (memaksa orang lain untuk "melihat"nya). Dan pengertian yang sama, bisa di artikan sebagai bahasa lain untuk memperjelas ungkapan Ilmu Padi , semakin merunduk semakin berisi.
## ===== ##
Artikel lainnya :
Soeharto Dimata Warga, G30S/PKI ; Pandangan Instan Dari Luar Garis, Film Omar ( Keteladanan Umar Bin Khattab), Soekarno-Hatta ; Pahlawan Yang Terabaikan, Belajar Jujur Dan Amanah; Review Dan Pepesan Kosong, Jokowi Si Umar Kecil, Geger Masalah UN Yang Di Undur; Bebas Berpendapat, Nasdem Dalam Pemilu 2014; Pewarna Blog, Ganti Rasa Dan Kemasan, Gudang Garam Bunuh Diri, BLSM ; Manuver Usang Sang Demokrat, Kenaikan BBM, BLSM, dan Pemilu, 10 Alasan Saya Harus Menulis
wah,,,dibalik tingkat PD yg tinggi ternyata penulis artikel ini ahli sejarah dan pengamat politik jg ya,,hehehe,,,
ReplyDeletemantaap bro artikelnya,,byk pelajaran yg didapat dr artikel diatas,yaitu setiap kesuksesan seseorang tdk harus berawal dr byk ny org mengenal nama kita,melainkan dr apa tindakan yg kita lakukan,tentunya smua dgn slalu bersikap RENDAH HATI,,,so,,"..jadilah orang yang tidak diperhitungkan" NICE,,,,
Good luck
terimaksih atas atensinya, ternyata anda adalah satu di antara dua orang yang memahami makna yang tersirat dan tersurat dari artikel mercusuar di atas hihihi...sekedar info saja, itu artikel saya buat dalam rangka menyambut Hari Pahlawan 10 November yg hanya di ingat oleh guru dan anak sekolah hihihi..oke sis..apapun komentar anda saya angkat topi untuk itu...
Deletehemmmm,,,,,
ReplyDelete